.jpg)
JAKARTA - Memasuki paruh kedua tahun 2025, pelaku pasar modal dihadapkan pada situasi yang menantang namun tetap menyimpan potensi. Dalam menghadapi berbagai ketidakpastian global, investor dituntut untuk menyikapi kondisi pasar dengan strategi yang cermat dan analisis yang tajam.
Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto, memaparkan bahwa pasar modal pada semester II tahun ini diperkirakan masih akan menghadapi tekanan. Proyeksi ini mempertimbangkan sejumlah variabel global dan domestik yang memengaruhi arah pergerakan pasar.
Dalam pernyataannya pada Senin, 4 Agustus 2025, Rully menyoroti bahwa salah satu tantangan terbesar yang membayangi pasar adalah kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat yang mulai diberlakukan di semester kedua ini. Kebijakan tersebut dikhawatirkan berdampak langsung terhadap aktivitas ekspor-impor dunia.
Baca Juga
Namun demikian, ia juga menegaskan bahwa situasi pasar tidak sepenuhnya dibayangi sentimen negatif. “Saat ini data dan peristiwa yang terjadi beragam (mixed), karena di tengah derasnya sentimen negatif tarif dagang AS ternyata ada beberapa sentimen positif yang membuatnya seimbang. Beberapa sentimen positif itu adalah direvisi positifnya pertumbuhan ekonomi global, pelemahan dolar AS yang membuat rupiah menguat, dan ruang pemangkasan suku bunga acuan yang melebar,” kata Rully.
Antara Tekanan Global dan Optimisme Ekonomi
Kondisi pasar saat ini memang menggambarkan dinamika kompleks. Di satu sisi, tekanan akibat kebijakan eksternal seperti tarif dagang AS dapat menimbulkan kekhawatiran. Di sisi lain, revisi positif terhadap prospek ekonomi global memberi sinyal bahwa masih ada ruang pertumbuhan yang bisa dimanfaatkan oleh investor.
Menurut Rully, International Monetary Fund (IMF) telah menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 3,1% baik untuk tahun 2025 maupun 2026. Sebelumnya, masing-masing prediksi berada di level 2,8% dan 3%. Perubahan ini didorong oleh penundaan implementasi tarif dagang AS yang membuat banyak negara mempercepat kegiatan ekspor dan impor dalam bentuk strategi front loading.
Bagi Indonesia sendiri, potensi tetap terbuka. Rully mencatat bahwa neraca perdagangan Indonesia menunjukkan surplus yang signifikan dalam dua bulan terakhir. “Indonesia adalah salah satu negara dengan surplus perdagangan yang cukup tinggi yaitu US$4,3 miliar pada Mei dan US$4,1 miliar pada Juni 2025,” ujarnya.
Suku Bunga, Sektor-sektor Menarik, dan Arah IHSG
Di tengah tantangan global, peluang domestik masih dapat dimaksimalkan, terutama dari sisi kebijakan moneter. Rully memprediksi bahwa Bank Indonesia masih memiliki ruang untuk memangkas suku bunga acuan sebesar 0,25%.
Langkah pemangkasan tersebut diharapkan memberikan stimulus positif bagi sektor-sektor tertentu. “Dengan prediksi suku bunga tersebut, sektor emas dan perbankan masih akan diuntungkan karena pemangkasan suku bunga acuan yang sudah dilakukan akan segera berdampak pada penurunan suku bunga perbankan,” ujarnya.
Dampak dari pelonggaran moneter ini juga diprediksi akan dirasakan oleh pasar obligasi. Dengan penurunan suku bunga, imbal hasil (yield) obligasi akan tertekan, yang berarti harga surat utang berpotensi naik. Bagi investor yang menyasar pendapatan tetap, kondisi ini bisa menjadi peluang strategis.
Lebih lanjut, Rully memproyeksikan bahwa pada akhir 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan berada di kisaran 6.900. Ini merupakan estimasi yang mencerminkan ekspektasi stabilisasi pasar di tengah berbagai gejolak eksternal.
Pengaruh Tarif AS dan Dampaknya ke Depan
Meski prospek pertumbuhan ekonomi global direvisi naik, kebijakan tarif perdagangan yang diambil oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump tetap menjadi sumber ketidakpastian utama. Rully menyampaikan bahwa berlakunya tarif tersebut bisa memicu penurunan aktivitas perdagangan dunia.
“Presiden AS Donald Trump akan membuat aktivitas perdagangan dunia akan terpengaruh signifikan, tidak terkecuali Indonesia,” ungkapnya.
Dampak dari kebijakan ini mungkin tidak akan langsung terasa dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka menengah hingga panjang, hal tersebut bisa memperlambat momentum pemulihan global yang tengah berlangsung.
Implikasi Bagi Investor di Indonesia
Bagi investor domestik, memahami dinamika pasar global serta memanfaatkan peluang dari kebijakan moneter nasional menjadi kunci menghadapi semester kedua 2025. Rully menekankan pentingnya melihat secara menyeluruh faktor-faktor penggerak pasar yang saling memengaruhi.
Investor disarankan untuk lebih selektif dalam memilih sektor. Sektor-sektor yang mendapat sentimen positif dari kebijakan suku bunga seperti perbankan dan logam mulia bisa menjadi pilihan utama. Di sisi lain, sektor yang sangat tergantung pada ekspor mungkin perlu mendapat perhatian lebih, mengingat dampak tarif AS terhadap arus perdagangan global.
Selain itu, pasar obligasi juga layak dipertimbangkan sebagai alternatif investasi, terutama dalam situasi penurunan suku bunga. Imbal hasil yang cenderung stabil serta potensi kenaikan harga bisa menjadi sumber keuntungan tersendiri bagi investor yang mengincar pendapatan tetap.
Menatap Akhir Tahun dengan Waspada dan Optimisme
Dengan banyaknya variabel yang memengaruhi kondisi pasar, investor diharapkan bisa mengatur portofolio secara dinamis. Kombinasi strategi defensif dan ofensif perlu diterapkan agar tetap bisa memanfaatkan peluang di tengah tantangan yang ada.
Semester II/2025 memang tidak sepenuhnya bebas risiko, tetapi bukan berarti tanpa harapan. Asalkan disikapi dengan cermat, investor tetap memiliki ruang untuk tumbuh bersama pasar.

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Semester Dua, Pasar Modal Siap Tumbuh Positif
- 04 Agustus 2025
2.
Tarif Bunga Pajak Baru Dorong Kepatuhan Wajib Pajak
- 04 Agustus 2025
3.
OJK Benahi Regulasi Rekening Dormant
- 04 Agustus 2025
4.
BRI Pastikan Rekening Dormant Tetap Aman
- 04 Agustus 2025
5.
BSI Gandeng Prudential Syariah untuk Bancassurance
- 04 Agustus 2025