Wisata Jepang Dikontrol Agar Lingkungan Tetap Lestari

Wisata Jepang Dikontrol Agar Lingkungan Tetap Lestari
Wisata Jepang Dikontrol Agar Lingkungan Tetap Lestari

JAKARTA - Fenomena overtourism atau pariwisata berlebihan tengah menjadi perhatian serius di Jepang. Negeri sakura ini menghadapi tantangan besar akibat lonjakan jumlah wisatawan yang mengancam kelestarian alam dan budaya. Sebagai respons, pemerintah Jepang dan otoritas setempat mengambil langkah-langkah tegas untuk membatasi jumlah pengunjung dan menjaga kelestarian lingkungan, sekaligus tetap mendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui sektor pariwisata yang berkelanjutan.

Salah satu fokus utama ada pada lima situs Warisan Alam Dunia UNESCO yang menjadi magnet wisatawan di Jepang. Pada Juli 2021, empat pulau yakni Amami-Oshima, Tokunoshima, Okinawa Utara, dan Iriomotejima resmi masuk dalam daftar Warisan Dunia UNESCO, menandai pentingnya perlindungan lingkungan sekaligus peluang ekonomi. Namun, peningkatan popularitas tersebut turut membawa risiko kerusakan alam jika tidak dikelola dengan bijak.

Pulau Iriomotejima yang terletak di Taketomi, Prefektur Okinawa, mendapat perhatian khusus dari Komite Warisan Dunia UNESCO untuk memperketat langkah-langkah pengendalian overtourism. Sejak Maret lalu, pemerintah setempat telah mulai membatasi jumlah wisatawan yang dapat mengunjungi beberapa titik wisata alam penting di pulau tersebut.

Baca Juga

Proyek Tol Japek II Selatan Dukung Pertumbuhan Wilayah

Misalnya, kunjungan ke air terjun Pinaisara yang sebelumnya mencapai 350 orang per hari kini dibatasi maksimal 200 orang per hari. Tempat wisata air terjun Sangara membatasi hingga 100 pengunjung per hari, sedangkan Gunung Tedou hanya boleh dikunjungi oleh 30 wisatawan dalam sehari. Pembatasan ini diterapkan untuk memastikan agar ekosistem alam tetap terjaga dan aktivitas wisata tidak merusak habitat asli flora dan fauna.

Harumi Tokuoka, mantan sekretaris jenderal Yayasan Iriomote, mengungkapkan bahwa proses pembatasan jumlah pengunjung berjalan lancar tanpa menimbulkan kebingungan berarti. "Kami memulai dengan baik tanpa kebingungan besar, berhasil menjaga jumlah wisatawan di bawah batas bahkan selama periode liburan panjang, yang merupakan musim tersibuk kami," katanya.

Langkah ini tidak diambil secara sepihak. Tokuoka bekerja sama erat dengan pemerintah kota Taketomi, Kementerian Lingkungan Hidup, serta berbagai pihak terkait dalam merumuskan strategi pengelolaan wisata yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. "Kami akan menangani masalah-masalah baru yang ditemukan sambil mencoba memahami wisatawan dan pemandu wisata," ujarnya menegaskan komitmen mereka.

Pengalaman pengelolaan wisata berkelanjutan juga diterapkan di Pegunungan Shirakami-Sanchi, yang menjadi Situs Warisan Alam Dunia pertama di Jepang sejak Desember 1993. Kawasan ini membentang di dua prefektur, yaitu Aomori dan Akita. Pada tahun 1997, pembatasan pengunjung mulai diterapkan akibat kekhawatiran terhadap dampak meningkatnya aktivitas pendakian gunung setelah penetapan warisan dunia tersebut.

Di sisi Aomori, wisatawan hanya diizinkan mengakses jalur tertentu setelah memberikan pemberitahuan sebelumnya. Sedangkan di sisi Akita, akses ke area inti kawasan sangat dibatasi untuk melindungi habitat alami yang sensitif. Pengelolaan seperti ini menjadi contoh upaya perlindungan alam yang berimbang antara kebutuhan konservasi dan pariwisata.

Selain pembatasan jumlah wisatawan, Jepang juga mengembangkan sistem pemandu alam profesional. Pemandu ini berperan penting dalam memastikan keselamatan pengunjung sekaligus memberikan edukasi mengenai pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Dengan cara ini, pariwisata tidak hanya menjadi sumber pendapatan, tapi juga alat untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan masyarakat dan wisatawan.

Di Pulau Yakushima, misalnya, otoritas setempat sedang mempertimbangkan untuk mewajibkan pendaki didampingi pemandu bersertifikat atau mengikuti pengarahan mengenai konservasi lingkungan sebelum melakukan aktivitas pendakian. Upaya ini untuk menghindari perilaku wisata yang merusak dan memastikan keberlanjutan ekosistem pulau tersebut.

Kondisi ini menjadi pelajaran penting tidak hanya bagi Jepang, tapi juga negara lain yang tengah menghadapi masalah serupa akibat ledakan wisatawan. Indonesia, khususnya Bali, misalnya, mulai menunjukkan tanda-tanda overtourism. Dampak yang dirasakan meliputi kerusakan alam, kepadatan pengunjung di lokasi wisata, serta meningkatnya masalah sosial dan kriminalitas yang melibatkan wisatawan.

Oleh karena itu, Indonesia dapat mengambil pelajaran dari strategi Jepang dalam mengelola pariwisata secara bertanggung jawab. Pendekatan seperti pembatasan jumlah pengunjung, pengaturan jalur wisata, serta penggunaan pemandu wisata profesional menjadi solusi yang efektif untuk menjaga keindahan alam dan budaya tanpa mengorbankan ekonomi lokal.

Melalui kebijakan yang tepat, diharapkan pariwisata dapat berkembang secara berkelanjutan dan memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat serta menjaga warisan alam dan budaya untuk generasi yang akan datang. Jepang telah membuktikan bahwa dengan sikap tegas dan kerja sama antar lembaga, tantangan overtourism dapat dikendalikan tanpa harus mengurangi kualitas pengalaman wisatawan.

Sindi

Sindi

navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.

Rekomendasi

Berita Lainnya

Samsung Galaxy Watch 8 Fitur Kesehatan Canggih

Samsung Galaxy Watch 8 Fitur Kesehatan Canggih

BYD Luncurkan Atto 2 Murah di Cina

BYD Luncurkan Atto 2 Murah di Cina

Wisata Alam Tersembunyi, Surga Indonesia yang Indah

Wisata Alam Tersembunyi, Surga Indonesia yang Indah

7 Drama Korea Inspiratif Untuk Calon Pengusaha Muda

7 Drama Korea Inspiratif Untuk Calon Pengusaha Muda

Tips Simpel Pakai Dua WhatsApp di Android

Tips Simpel Pakai Dua WhatsApp di Android