
JAKARTA - Di tengah kondisi bunga perbankan yang masih tinggi, strategi pendanaan korporasi mengalami pergeseran signifikan. Kini, banyak perusahaan lebih memilih untuk menerbitkan surat utang atau obligasi dibanding mengandalkan pembiayaan dari perbankan. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap tantangan biaya dana yang dinilai lebih efisien melalui pasar obligasi.
Tren tersebut tergambar jelas dalam data yang tercatat sepanjang semester pertama tahun ini. Lembaga pemeringkat mencatat bahwa dari total penerbitan surat utang korporasi selama periode tersebut, sebanyak 56,26 persen diarahkan untuk kebutuhan modal kerja. Ini merupakan peningkatan signifikan dibanding periode yang sama sebelumnya, yang hanya mencapai 38,61 persen.
Sementara itu, dari sisi perbankan, pertumbuhan kredit modal kerja menunjukkan perlambatan. Hingga akhir Juni, pertumbuhan kredit modal kerja secara tahunan hanya sebesar 4,45 persen. Angka ini menurun dibandingkan posisi akhir tahun lalu, ketika pertumbuhan kredit modal kerja masih mencapai 8,35 persen.
Baca JugaDanantara Jalin Kerja Sama Global untuk Investasi Strategis Nasional
Pergeseran ini pun diakui oleh kalangan ekonom sebagai indikasi bahwa korporasi kini semakin berhati-hati dalam mengelola beban biaya, khususnya di tengah kondisi suku bunga kredit yang masih tergolong tinggi. Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyatakan bahwa penerbitan obligasi kini menjadi pilihan yang lebih menarik secara finansial.
“Penerbitan obligasi jadi opsi yang lebih menarik. Tingkat bunga obligasi cenderung lebih kompetitif dibanding bunga kredit perbankan yang masih tinggi,” jelas Josua.
Meskipun suku bunga acuan sempat mengalami penurunan, suku bunga kredit perbankan secara umum masih bertahan di angka yang relatif tinggi. Berdasarkan data terkini, suku bunga kredit berada di level 9,16 persen, sedikit turun dari posisi sebelumnya yang mencapai 9,18 persen. Dengan bunga setinggi ini, banyak korporasi menilai bahwa biaya pendanaan dari bank menjadi kurang efisien.
Sebaliknya, pasar obligasi menawarkan imbal hasil yang lebih rendah untuk perusahaan dengan peringkat kredit tinggi. Misalnya, untuk korporasi dengan peringkat AAA dan AA, imbal hasil surat utang untuk tenor lima tahun berada di kisaran 7 hingga 8 persen. Selisih ini cukup signifikan dan memberi ruang efisiensi yang lebih besar.
“Situasi ini membuat biaya dana melalui penerbitan obligasi jadi lebih efisien dibanding pinjaman bank,” tambah Josua.
Hal ini juga didukung oleh pandangan dari analis pasar modal yang menilai bahwa korporasi mulai memanfaatkan tren penurunan suku bunga dengan lebih agresif masuk ke pasar surat utang. Menurut analis Pefindo, Danan Dito, meskipun proses pinjaman bank cenderung lebih cepat, namun sifatnya yang jangka pendek dan bunganya yang fluktuatif membuat banyak korporasi mempertimbangkan ulang penggunaannya.
Di sisi lain, kondisi makroekonomi yang penuh tantangan membuat pihak perbankan lebih selektif dalam menyalurkan kredit. Perbankan cenderung menerapkan prinsip kehati-hatian yang lebih tinggi dalam menilai risiko kreditur.
“Perbankan juga jadi lebih selektif,” ujar Danan.
Meski demikian, Danan menegaskan bahwa peran pinjaman bank tidak sepenuhnya akan ditinggalkan. Pasalnya, dalam siklus bisnis tertentu, korporasi tetap membutuhkan fleksibilitas yang ditawarkan oleh pembiayaan perbankan, terutama untuk kebutuhan yang bersifat jangka pendek atau darurat. Ia memperkirakan bahwa pertumbuhan kredit korporasi masih akan berada di level moderat, yakni antara 5 hingga 7 persen.
Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Executive Vice President Corporate Communication and Social Responsibility BCA, Hera F. Haryn. Menurutnya, strategi pendanaan korporasi bersifat dinamis, menyesuaikan dengan kondisi ekonomi dan tingkat suku bunga.
“Korporasi tetap memerlukan pembiayaan melalui perbankan dari waktu ke waktu,” kata Hera.
Ia menjelaskan bahwa ketika suku bunga berada di level yang relatif rendah, pasar obligasi menjadi sarana penggalangan dana yang lebih aktif dimanfaatkan oleh perusahaan. Namun, pembiayaan melalui perbankan tetap menjadi pilar penting yang mendukung aktivitas usaha secara berkesinambungan.
BCA mencatat penyaluran kredit modal kerja sebesar Rp 421,5 triliun, dengan pertumbuhan tahunan sebesar 9,4 persen. Meski menghadapi tantangan eksternal, Hera menyatakan bahwa BCA akan tetap menjaga peran aktif dalam mendukung pembiayaan ke berbagai sektor ekonomi.
Dengan cadangan likuiditas yang mencukupi, BCA menyatakan kesiapan untuk terus berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional melalui penyaluran kredit, tentunya dengan prinsip kehati-hatian dan pengelolaan risiko yang disiplin.
“Kami berharap pertumbuhan kredit di 2025, termasuk kredit modal kerja, tetap positif,” tegas Hera.
Melihat arah perkembangan saat ini, jelas bahwa keputusan korporasi untuk lebih banyak masuk ke pasar surat utang bukan semata-mata karena proses yang lebih mudah, melainkan lebih pada pertimbangan efisiensi dan pengelolaan risiko jangka panjang. Sementara perbankan tetap memegang peranan penting, korporasi kini lebih fleksibel dalam memilih sumber pembiayaan, tergantung pada struktur biaya dan ekspektasi pasar.
Dengan kondisi suku bunga yang belum sepenuhnya stabil dan tekanan ekonomi global yang belum reda, kemungkinan besar tren diversifikasi sumber pendanaan ini akan terus berlanjut. Pasar modal pun diperkirakan akan semakin ramai dengan aktivitas penerbitan surat utang korporasi, seiring dengan kebutuhan likuiditas dunia usaha yang terus tumbuh.

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Bank BTN dan Kendari Pos Sinergi Majukan Properti
- 22 Juli 2025
2.
3.
Pemkot Kediri Perkenalkan Transportasi untuk Pelajar
- 22 Juli 2025
4.
Sensasi Baru Mobil Listrik dari Polytron
- 22 Juli 2025