
JAKARTA - Bahasa kerap menjadi tantangan pertama yang dihadapi remaja imigran di negara baru. Di Korea, tantangan itu dijawab melalui pendekatan unik salah satunya lewat kelas mentoring berbahasa asing yang digelar di SMP Gonjiam, Kota Gwangju.
Pertanyaan tersebut menjadi pembuka sesi mentoring yang menjadi bagian dari Grup Mentoring Imigran untuk Integrasi Sosial, program yang dioperasikan oleh Kementerian Kehakiman. Melalui pendekatan multibahasa dan pengalaman pribadi, para mentor membagikan kisah bagaimana mereka bisa beradaptasi di Korea.
Park Chang-hyun dari Divisi Integrasi Sosial Kementerian Kehakiman menjelaskan tujuan dari program ini, “Kelas ini bertujuan untuk memberikan pengarahan kepada anak-anak dalam bahasa yang mereka kenal dan dari sudut pandang senior yang berasal dari negara yang sama.”
Baca Juga
Program ini disambut hangat oleh para siswa. Aleksei, remaja asal Rusia yang mengikuti kelas tersebut mengatakan, “Kelas ini membantu saya untuk memahami budaya Korea. Saya berharap jumlah pelatihan seperti ini dapat ditambah untuk membantu para siswa.”
Dari total 450 siswa di SMP Gonjiam, 50 di antaranya berasal dari latar belakang multikultural. Pada tahun 2024, sebanyak 260 siswa di seluruh Korea telah menerima pelatihan serupa. Angka ini akan ditingkatkan menjadi 1.000 siswa pada tahun 2025 sebagai bagian dari upaya perluasan program integrasi.
Salah satu mentor pada hari itu adalah Luiza Zoirovna Sakhabutdinova, yang berasal dari Uzbekistan. Ia berbagi kisahnya, “Saya pertama kali datang ke Korea 17 tahun lalu dan banyak dibantu oleh orang baik. Saya juga ingin membantu penduduk asing lain agar bisa hidup lebih bahagia, aman, dan nyaman di Korea. Saya berharap teman-teman muda bisa hidup dengan baik di Korea.”
Ansan, Kota dengan Dukungan Terbaik untuk Imigran
Kota Ansan yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Seoul, kini menjadi kota dengan persentase penduduk asing tertinggi di Korea, yakni sebesar 14%. Hingga Juni 2025, jumlah penduduk asing di Ansan tercatat mencapai 100.519 orang, meningkat pesat dari 33.052 orang pada tahun 2008.
Sebagai respons terhadap meningkatnya populasi penduduk asing, Pemerintah Kota Ansan mendirikan Kantor Pusat Bantuan Penduduk Asing pada tahun 2005. Kantor ini menyediakan berbagai layanan, mulai dari konsultasi dan juru bahasa dalam 11 bahasa, hingga bantuan hukum dan medis.
Tak hanya itu, kantor ini juga menyediakan pusat bantuan kesehatan yang menawarkan layanan pengobatan gratis bagi penduduk asing yang membutuhkan. Upaya tersebut mencerminkan keseriusan Ansan dalam membangun kota yang inklusif.
Kota ini bahkan menjadi yang pertama di Korea dalam menetapkan peraturan daerah yang menjamin hak-hak penduduk asing. Selain itu, partisipasi aktif warga asing dalam pemerintahan diperluas melalui pendirian Komunitas Promosi Hak Penduduk Asing dan Organisasi Penduduk Asing.
Berkat upaya berkelanjutan tersebut, Ansan ditetapkan sebagai Kota Interkultural oleh Majelis Eropa pada tahun 2020.
Direktur Jenderal Kantor Pusat Bantuan Penduduk Asing, Lee Eok Bae, menekankan, “Kebijakan (Kota Ansan) terkait penduduk asing tersebut menjadi kebijakan pertama yang dibuat dengan menggunakan anggaran pemerintah daerah tanpa bantuan pemerintah pusat.”
Membantu Diaspora Korea Pulang dan Menetap
Selain mendukung warga asing, pemerintah Korea juga memberikan perhatian khusus kepada diaspora Korea—mereka yang dulunya bermigrasi ke luar negeri dan kini kembali untuk menetap di tanah leluhur. Sejak tahun 2008, Kementerian Kehakiman telah menetapkan sejumlah organisasi nirlaba sebagai Pusat Bantuan untuk Diaspora Korea.
Pusat bantuan ini ditunjuk setiap dua tahun dan berfungsi membantu diaspora dalam memahami sistem imigrasi, izin tinggal, kewarganegaraan, serta memberikan konsultasi dan pendidikan kehidupan sehari-hari di Korea.
Hope365 yang berlokasi di Kota Ansan, tahun ini ditetapkan sebagai Pusat Bantuan untuk Diaspora Korea yang baru. Organisasi ini menyediakan pendampingan langsung, salah satunya oleh Tsoi Melis, seorang Koryo-saram keturunan Korea yang bermigrasi ke Rusia dan bekas wilayah Uni Soviet pada periode 1864–1945.
Tsoi menyampaikan bahwa banyak Koryo-saram kesulitan beradaptasi karena kendala bahasa. “Para Koryo-saram yang tiba di Korea memiliki banyak kesulitan karena perbedaan bahasa sehingga mereka membutuhkan bantuan pendidikan dan penerjemahan bahasa Korea agar bisa menetap dengan nyaman di Korea,” jelasnya.
Tak hanya itu, Kim Myeong Soon juga turut membantu diaspora Korea yang berasal dari Tiongkok. Ia datang ke Korea 24 tahun lalu dan kini aktif dalam kegiatan pendampingan komunitas.
Kim berbagi pengalamannya, “Awalnya kami hanya bersosialisasi dengan orang-orang yang berasal dari suku yang sama, tetapi akhirnya kami berkenalan dengan orang-orang dari berbagai negara berkat pusat bantuan tersebut. Saya merasa bahwa masyarakat Korea telah mulai berubah dengan menerima keberadaan penduduk asing di antara mereka.”
Membangun Korea yang Inklusif dan Ramah
Upaya pemerintah Korea dalam menciptakan lingkungan yang ramah untuk penduduk asing dan diaspora bukan hanya soal layanan administratif, tetapi juga mencakup integrasi sosial dan dukungan psikologis.
Melalui berbagai kebijakan integratif yang berorientasi pada kebutuhan langsung komunitas asing, Korea terus menunjukkan komitmennya dalam membangun masyarakat yang inklusif.
Baik melalui kelas mentoring di sekolah, pusat bantuan kota, maupun dukungan terhadap diaspora, Korea berupaya memastikan bahwa siapa pun yang datang dan tinggal di negaranya dapat merasa diterima dan diberdayakan.

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
myBCA, Aplikasi BCA yang Bikin Transaksi Makin Praktis
- 08 Agustus 2025
2.
Bursa Asia Bergerak Beragam, Emas Ikut Menguat
- 08 Agustus 2025
3.
Harga Minyak Turun, CPO dan Timah Menguat
- 08 Agustus 2025
4.
Harga BBM Pertamina Hari Ini: Ada yang Naik, Ada yang Turun
- 08 Agustus 2025