JAKARTA - Ketidakpastian yang menyelimuti sektor batubara tidak lantas menyurutkan daya tarik saham-saham emiten energi ini. Meski harga komoditas global cenderung melemah dan tekanan terhadap permintaan ekspor masih berlanjut, para analis tetap melihat adanya peluang investasi yang layak dipertimbangkan oleh investor yang berorientasi jangka menengah hingga panjang.
Sektor batubara saat ini berada dalam fase penyesuaian akibat fluktuasi harga pasar internasional. Namun, dinamika ini tidak sepenuhnya membawa dampak negatif. Sejumlah analis menilai bahwa tekanan yang muncul justru telah diperhitungkan oleh pelaku pasar, sehingga membuka ruang untuk masuknya sentimen positif baru yang berasal dari faktor makroekonomi maupun kebijakan industri.
Tren pelemahan harga batubara global belum juga menunjukkan sinyal pemulihan yang solid. Di sisi lain, sejumlah analis pasar modal tetap merekomendasikan saham emiten batubara, karena dinilai masih menyimpan potensi keuntungan dalam jangka panjang. Meski investor perlu bersikap hati-hati, berbagai emiten masih menunjukkan strategi yang agresif dalam mempertahankan kinerja.
- Baca Juga Harga BBM Terbaru Berlaku Seluruh SPBU
Laporan terbaru memperkirakan bahwa laba bersih emiten batubara pada kuartal II-2025 akan menurun cukup signifikan, yaitu di kisaran 4% hingga 50% secara kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ). Penurunan ini bahkan lebih dalam dari proyeksi konsensus pasar yang sebelumnya memprediksi penurunan sebesar 20%–45% sepanjang tahun berjalan.
Menurut analisa Reggie Parengkuan dan Ryan Winipta, faktor utama perlambatan tersebut adalah belum pulihnya harga batubara secara menyeluruh. Harga komoditas ini sempat terkoreksi sebesar 9,18% secara year to date (YtD), mencapai level US$ 113,75 per ton. Namun dalam rentang satu bulan terakhir, batubara justru sempat mencatat kenaikan sebesar 7,16%.
Dalam laporan mereka tertanggal 18 Juli 2025, keduanya menekankan bahwa hambatan lain datang dari kondisi cuaca ekstrem pada April dan Mei, yang berdampak langsung terhadap penjualan. Di samping itu, pemberlakuan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk ekspor turut membebani profitabilitas perusahaan tambang.
Meski begitu, mereka menyatakan, “Kami menilai penurunan kinerja ini telah diantisipasi pasar seiring dengan potensi penurunan harga batubara yang mulai terbatas. Kami perkirakan akan ada katalis positif dari sisi makro dan industri.”
Hingga kini, belum ada emiten batubara besar yang merilis laporan keuangan resmi untuk semester I-2025. Namun, PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) tetap menunjukkan optimisme terhadap kelangsungan bisnisnya. Direktur ITMG, Yulius Kurniawan Gozali, menyampaikan bahwa fluktuasi pasar merupakan bagian tak terpisahkan dari industri ini.
"Meski ada tekanan di pasar global, kami tetap melihat peluang untuk menjaga kinerja positif hingga akhir 2025," ujarnya.
Sebagai bagian dari strategi bertahan, ITMG mengandalkan efisiensi biaya dan optimalisasi operasional. Target produksi tahun ini tetap berada di kisaran 20,8 juta ton hingga 21,9 juta ton, sementara target penjualan dipatok pada angka 26,3 juta ton hingga 27,4 juta ton.
Sementara itu, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) melalui Sekretaris Perusahaan Niko Chandra juga menyampaikan pandangan serupa. Ia menyebutkan bahwa permintaan batubara diperkirakan akan meningkat menjelang musim dingin, mengikuti pola historis tahunan. Meskipun harga rata-rata masih lebih rendah dibandingkan tahun lalu, tren pemulihan sudah mulai terlihat.
"Kami terus mengkaji strategi yang optimal untuk menjaga daya saing dan profitabilitas perusahaan, baik melalui efisiensi biaya maupun penguatan pasar domestik," kata Niko.
Namun, risiko terhadap kinerja emiten tetap ada, terutama di paruh kedua 2025. Investment Analyst dari Edvisor Provina Visindo, Indy Naila, mengingatkan bahwa perlambatan permintaan dari negara utama seperti Tiongkok dan India bisa memberikan tekanan tambahan terhadap pendapatan emiten Indonesia.
Meski demikian, dari perspektif investasi, sektor batubara tetap menarik bagi investor tertentu. “Saham di sektor energi atau tambang menawarkan dividen yang menarik dan sekarang berada dalam valuasi murah,” jelas Indy.
Indy juga merekomendasikan saham PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) yang memiliki potensi untuk mencapai harga Rp 25.700 per saham dalam jangka panjang. Selain memiliki valuasi yang menarik, ITMG juga dikenal sebagai emiten yang rutin membagikan dividen besar.
Tidak hanya ITMG, saham PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) juga mendapat rekomendasi beli dari Reggie dan Ryan. Mereka menyebut AADI memiliki margin yang kuat dan valuasi menarik, ditambah dengan sentimen positif dari program pembelian kembali saham (buyback). Target harga saham AADI diproyeksikan di level Rp 10.000 per saham.
Secara umum, sektor batubara memang menghadapi tekanan, baik dari sisi harga maupun permintaan pasar global. Namun, langkah strategis dari para emiten, ditambah optimisme analis pasar, memberikan sinyal bahwa sektor ini belum kehilangan daya tariknya.
“Seluruh perkembangan ini tentu menjadi bahan pertimbangan penting bagi investor dalam mengambil keputusan,” tutup Indy.
Dengan berbagai analisa dan sikap optimistis dari pelaku industri, saham sektor batubara tetap layak untuk dipertimbangkan. Khususnya bagi investor yang menargetkan dividen tinggi dan memiliki horizon investasi jangka menengah hingga panjang, saham seperti ITMG dan AADI bisa menjadi pilihan di tengah dinamika industri global yang terus bergerak.