Inspiratif Pemuda Bali Bawa Gamelan Rindik ke Pasar Ekspor

Senin, 14 Juli 2025 | 12:11:37 WIB
Inspiratif Pemuda Bali Bawa Gamelan Rindik ke Pasar Ekspor

JAKARTA - Perjalanan seorang pemuda dari Desa Alasangker, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, membawa gamelan rindik berbahan bambu ke panggung internasional menjadi kisah inspiratif yang patut diapresiasi. I Gede Edi Budiana, yang akrab disapa Edibud, membuktikan bahwa dengan ketekunan, inovasi, dan kecintaan terhadap budaya, produk tradisional Bali bisa menembus pasar ekspor dengan kualitas yang tak kalah dari produk luar negeri.

Sejak kecil, Edibud sudah akrab dengan alunan gamelan Bali. Suara khas instrumen ini sering ia dengar dari radio hingga di berbagai upacara keagamaan di desanya. Minatnya semakin mendalam saat ia merantau ke Gianyar untuk menempuh pendidikan di jurusan komputer. Di sana, ia berkesempatan belajar langsung dari para seniman senior Bali, yang mengasah kemampuan serta pemahamannya tentang seni gamelan tradisional.

“Sejak dulu saya suka dengar gamelan, apalagi saat upacara adat. Waktu kuliah saya mulai belajar bikin rindik dari bambu bekas penjor. Ternyata hasilnya langsung diminati dan laku Rp 300 ribu,” ujar Edibud mengenang awal mula perjalanan kariernya di dunia gamelan.

Pada 2018, setelah menyelesaikan studinya, Edibud pulang ke kampung halaman dan mendirikan dE Percussion, sebuah studio produksi dan workshop gamelan berbasis bambu yang berlokasi di Desa Jinengdalem. Di sini, ia memproduksi berbagai alat musik tradisional Bali seperti rindik, tingklik, angklung bambu, suling, kulkul, hingga kincir angin bernada.

Tidak sekadar memproduksi, Edibud menaruh perhatian khusus pada bahan baku. Ia memilih bambu Tabah yang tumbuh di perbukitan Bali Utara serta bambu Hitam yang didatangkan langsung dari Jawa. “Bambu ini saya rendam selama dua bulan di cairan insektisida dan EM4 agar hilang kadar gula alaminya. Jadi, bambunya tahan terhadap rayap dan cuaca,” jelasnya.

Selain pemilihan bahan berkualitas, Edibud juga menggabungkan teknologi modern untuk menyempurnakan produk tradisionalnya. Alih-alih menggunakan metode penyetelan nada konvensional yang mengandalkan insting pendengaran, ia memanfaatkan aplikasi digital tuner di ponsel untuk menyetel setiap bilah bambu rindik dengan presisi. “Dengan bantuan aplikasi, suara yang dihasilkan bisa lebih akurat dan konsisten, sesuai tangga nada slendro yang saya konversi ke nada diatonis,” ungkapnya.

Proses pengerjaan alat musik ini tetap mengandalkan keterampilan tangan dan alat sederhana seperti pisau blakas, pengutik, gerinda, dan bor listrik. Hal ini memastikan kualitas estetika dan suara tetap terjaga, sekaligus mempertahankan sentuhan tradisional dalam setiap produknya.

Salah satu kunci keberhasilan Edibud dalam memasarkan gamelan rindik adalah pemanfaatan media sosial. Melalui Instagram dan TikTok dengan akun @dE_Percussion, ia memperkenalkan karya-karyanya ke khalayak luas. Berkat promosi digital ini, pesanan mulai berdatangan dari berbagai negara seperti Australia, Jepang, Amerika Serikat (New York), hingga Singapura. Pasar lokal Bali pun turut antusias memesan produk buatannya dari berbagai daerah, mulai Karangasem, Tabanan, Klungkung, Badung, hingga Denpasar.

Harga rindik yang dijual Edibud bervariasi mulai Rp 1 juta hingga Rp 8 juta, tergantung ukuran, tingkat kerumitan ukiran, dan jenis produk. Selain itu, ia juga melayani pesanan khusus sesuai kebutuhan pelanggan. Keterlibatan warga sekitar dalam proses pembuatan pelawah dan ukiran tidak hanya membantu produksi, tapi juga memberdayakan potensi lokal dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

Permintaan yang terus meningkat membuat Edibud harus menyiapkan stok tambahan dengan tetap menjaga kualitas. Ia menegaskan bahwa meski produksi tidak mudah dan memakan waktu, kualitas adalah prioritas utama untuk menjaga keaslian dan nilai seni dari gamelan rindik.

“Semoga semakin banyak generasi muda yang tertarik menekuni seni gamelan Bali seperti rindik, supaya warisan budaya kita tetap lestari dan terus berkembang,” harap Edibud. Ia juga menyadari tantangan besar bagi anak muda di Bali yang menyukai gamelan namun terkendala faktor ekonomi sehingga memilih merantau dan meninggalkan budaya lokal.

Kisah sukses Edibud bukan sekadar soal bisnis, melainkan inspirasi bagaimana seni tradisional bisa beradaptasi dan bersaing di era modern. Perpaduan keahlian tangan, inovasi teknologi, dan pemasaran digital telah membuka jalan bagi produk budaya Bali untuk dikenal di pasar global.

Keberhasilan ini juga menjadi contoh nyata bahwa warisan budaya bukanlah sesuatu yang harus terjebak dalam nostalgia, melainkan bisa terus bertransformasi dan memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat. Edibud membuktikan, dengan kreativitas dan semangat, tradisi gamelan Bali tetap relevan dan mampu bersaing di kancah internasional.

Melalui gamelan rindik karya Edibud, Bali tidak hanya dikenal sebagai destinasi wisata budaya, tetapi juga produsen alat musik tradisional yang berkualitas tinggi dan diminati dunia. Semoga perjalanan inspiratif ini memotivasi lebih banyak anak muda untuk mengangkat dan melestarikan kekayaan budaya daerah demi masa depan yang lebih cerah.

Terkini

Teknologi AI Bawa Terobosan Simulasi Iklim

Senin, 14 Juli 2025 | 13:01:12 WIB

Peran Orang Tua Atur Batasan Gadget Gen Z

Senin, 14 Juli 2025 | 13:04:45 WIB

PTPP Wujudkan Stasiun Tanah Abang Modern dan Efisien

Senin, 14 Juli 2025 | 13:08:20 WIB